Sengketa Perdata di Pengadilan Agama
Oleh: Sukpandiar Mohammad Idris, SH (Advokat pada Kantor Hukum “Peduli Muslim”)
Ummat Islam di Indonesia sekarang ini dalam sengketa perdata sudah dapat menentukan jika terjadi sengketa memilih diselesaikan via Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama (PA). Jika dahulu urusannya PA itu hanya seputar Sengketa Perkawinan, Waris, Hibah dan wakaf , sekarang sudah diperluas.
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
- Wakaf dan sedekah
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
(1) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan
- Wasiat
- Hibah
- Wakaf
- Zakat
- Shadaqah
- Infaq, dan
- Ekonomi syari’ah
(2) Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Dalam pasal 50 UU No. 3 tahun 2006 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik (misal tanah, bangunan atau benda lainnya-Pen) atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.3 tahun 2006 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
Bahkan sengketa EKONOMI SYARIAH dalam penjelasan UU No.3 tahun 2006 di perjelas lagi , yang dimaksud dengana “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurup prinsip syari’ah , ANTARA LAIN (berarti tak hanya yang tertera di bawah ini-Pen)meliputi:
- Perbankan syari’ah;
- Lembaga keuangan mikro syari’ah
- Asuransi syari’ah
- Reasuransi syari’ah
- Reksa dana syari’ah
- Obligasi syar’iah dan surat berharga
- Berjangka menengah syariah
- Sekuritas syariah
- Pembiayaan syari’ah
- Pegadaian syari’ah
- Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
- Bisnis syari’ah.
Bisnis syari’ah ini bisa di perluas, sewa –menyewa syariah; jual beli syari’ah, Kerjasama bagi hasil syari’ah; dan lain-lain sepanjang para pihak “dengan TEGAS MENUNDUKKAN DIRI BILA TERJADI SENGKETA akan di tempuh via Pengadilan Agama. Halini harus di tegasakan dalam akad TERTULIS, tak cukup dengan lisan. Karena hal ini sebagai alat bukti kuat jiaka di ajukan gugatan ke PA nanti.
Nah sekarang tinggal kita selaku muslim memilih, mau di adili oleh Hakim non muslim jika berperkara di Pengadilan Negeri atau hakim muslim di Pengadilan Agama?.
Patut dicatat , biarpun para pihak bersengketa telah mendaftarkan gugatannya ke PA, HAkim WAJIB lebih dahulu MENDAMAIKAN PARA PIHAK, dengan cara mediasi, baik atas sara majelis hakim atau memlih mediator sendiri. Jika tak terjadi kata sepakat, Sengketa di proses di Pengadilan Agama setempat